Menyimak Kembali Sejarah Tionghoa dari Kaca Mata Pramoedya Ananta Toer

Sudah sejak lama keberadaan masyarakat Tionghoa di Indonesia menjadi perhatian banyak pengamat. Kebanyakan para pengamat ini berusaha menelusuri lebih jauh kedudukan mereka dalam berbagai konteks kehidupan masyarakat Indonesia, dari mulai politik-ekonomi sampai sosio-kultural. Banyak karya ilmiah baik dalam bentuk skripsi, tesis, maupun disertasi, yang secara khusus mengeksplorasi kehidupan etnis Tionghoa dengan segala kompleksitasnya.

Meskipun banyak laporan mengenai kedudukan masyarakat Tionghoa yang lahir dari banyak sarjana, hampir sebagian besar –kalau bukanya keseluruhan- memiliki dasar pemikiran yang bermula dari pertanyaan yang sama yakni; sejauhmana orang-orang Tionghoa ‘menjadi bagian dari Indonesia’. Persoalan itu memang yang paling krusial.

Menyebut satu per satu literatur mengenai masyarakat Tionghoa terlampau banyak. Akan tetapi, berikut ini barangkali bisa menjadi acuan. Studi Peter Carey “Orang Jawa dan Masyarakat Cina (1755-1825)” adalah salah satu yang mencoba menjelaskan relasi ekonomi dan kedudukan politis masyarakat Tionghoa di daerah kekuasaan raja-raja Mataram, Yogyakarta dan Surakarta, pasca palihan nagari 1755. Dalam bukunya itu, Carey menunjukan betapa kedudukan orang-orang Tionghoa, meskipun keberadaanya dalam jumlah sedikit, memainkan peran yang sangat besar berkaitan dengan ekonomi di daerah vorstenlanden. Perdagangan skala kecil dan besar disokong oleh orang-orang perantauan dari Cina Selatan yang konon sudah mengenal Jawa sejak zaman Majapahit itu. Sangking pentingnya orang-orang Cina, kerajaan Mataram bahkan membuat undang-undang khusus yang mengatur peradilan bagi mereka.

Jika Carey menunjukan bahwa orang-orang Tionghoa menjadi mitra bisnis gerbang tol dan candu yang menguntungkan para penguasa Jawa, seorang sejarawan asal Prancis, Dennys Lombard, lebih ambisius lagi. Salah satu dari trilogi bukunya, “Nusa Jawa: Silang Budaya Jilid 2, Jaringan Asia” telah memperlihatkan bahwa masyarakat Tionghoa perantauan punya sumbangsih besar dalam kebudayaan Indonesia. Lombard menyebutkan pengaruh kebudayaan Cina dalam teknik-teknik pertanian, pembuatan gula, dan sebagainya. Dua studi di atas setidaknya sudah dapat menjelaskan asal muasal dan dinamika hubungan masyarakat Cina dengan orang Jawa.

Selain sosial-ekonomi dan budaya, masyarakat Tionghoa juga menjadi bagian dari kekuatan politik yang turut menginspirasi pergerakan nasional di Indonesia pada awal abad ke 20. Ketika Sun Yat Sen dan kaum nasionalis berhasil meraih kegemilangan revolusi nasionalnya di Cina, kebanyakan masyarakat Tionghoa di Indonesia menyambut dengan penuh antusias. Dalam batas tertentu kebanggaan mereka atas apa yang terjadi di Cina menumbuhkan rasa nasionalistik berlebihan hingga menimbulkan konflik dengan masyarakat Pribumi (di Surakarta dan Surabaya). Akan tetapi, di saat bersamaan, organisasi-organisasi nasional mereka ikut mendorong tumbuhnya organisasi pergerakan nasionalis pribumi seperti Sarekat Islam (Baca: Takashi Shiraisi, Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1921). Lagi pula, nasionalisme orang-orang Tionghoa seiring berjalanya waktu mengalami perubahan, dari orientasi ke tanah leluhur menjadi tanah tempat hidup dan berdiam diri, Indonesia. Leo Suryadinata dalam “Tokoh Tionghoa dan Identitas Indonesia” menunjukan perubahan identitas dan orientasi politik mereka menunju identitas nasional Indonesia.

Dari literatur yang di atas tercatat lah kenyataan bahwa masyarakat Tionghoa dan Indonesia memiliki keeratan satu sama lain. Baik secara kultural maupun secara politis. Pada intinya, Tionghoa adalah bagian dari apa yang sekarang disebut dengan Indonesia.

Diskriminasi

Identitas adalah perihal yang gampang diutak-utik, terlebih lagi identitas nasional, ujar sejawan Inggris Eric J. Hobsbawm. Menurutnya, jika sebuah bangsa itu hadir karena ditemukan, maka nasionalisme sebagai sebuah ideologi yang menaungi kesadaran identitas nasion adalah sebuah invented tradition, sebuah tradisi yang harus terus digali. Mungkin sederetan literatur yang dibicarakan di atas meurpakan bagian dari penggalian tradisi luhur itu. Tapi apakah benar bahwa masalah sudah selesai setelah sejarah menyampaikan pesan moral yang termat jelas? Ternyata tidak. Betapun sejarah mengagung-agungkan kebenaran sejati, ia selalu menjadi korban manipulasi.

Sejalan dengan usaha masyarakat Tionghoa mencari identitas mereka yang sudah pasti identitas “keindonesiaan”, penghakiman sejarah yang dimanupulasi oleh kuasa telah menghambat jalan mereka itu. Bukti-buktinya telah jelas, dan bahkan menjadi catatan sejarah yang paling buruk negeri ini. Diskriminasi, kekerasaan, perkosaan, dan penghinaan baik secara langsung maupun tidak adalah hal yang menunjukan bahwa masyarakat Tionghoa belum diterima ‘menjadi bagian dari Indonesia’.

Pentingnya Membaca Kembali ‘Hoakiau di Indonesia’

Orang mungkin tak banyak yang tahu bahwa Pramoedya Ananta Toer-lah, orang Indonesia pertama yang membela masyarakat Tionghoa, ketika yang terakhir ini menjadi korban diskriminasi rasial yang dilakukan pemerintah Indonesia pada akhir tahun 1950-an. Kala itu pemerintah mengeluarkan PP 10/1959 yang isinya, kata sejarawan JJ Rizal, “buat bikin musnah” pedangan eceran yang didominasi orang-orang Cina di daerah pedalaman. Akibat PP itu, banyak orang-orang Cina yang diusir dari desa-desa, bahkan dengan paksaan oleh tentara.

pramoedya-ananta-toer-copy

Pada saat yang sama, Pramoedya Ananta Toer, yang ketika itu sudah cukup populer namanya sebagai penulis, baru saja pulang dari ‘lawatanya’ ke Cina. Seperti diungkapkan oleh Hong Liu, bahwa perjalanan ini adalah pengalaman intelektual Pram yang luar biasa, karena pada giliranya nanti merubah drastis pandangan Pram dari seorang berpandangan humanisme universal menjadi realisme  sosialis (Baca: Pram dan Cina). Namun demikian, lebih dari itu, kedekatan Pram dengan Cina lah yang sangat menarik.

Kedekatan Pram dengan Cina terbukti ketika ia melancarkan kritik subversif terhadap pemerintah yang secara tidak manusiawi, dan tidak sadar sejarah, mendiskriminasi masyarat Cina. Ketika itu, Pram menulis di harian Bintang Timur secara serial, sebuah cerita yang berbentuk korespondensi Pram dengan seorang gadis Cina. Cerita itu, berisi tentang dialog berkisaran kebudayaan Cina dan masyarakat Cina di Indonesia. Serial itu kemudian dibukukan dengan judul “Hoakiau di Indonesia”.

Melalui “Hoakiau di Indonesia” Pram ingin menunjukan kedekatan kultural masyarakat Tionghoa dan Indonesia. Tidak tanggung-tanggung, Pram menjelaskan gagasanya dengan sejumlah bukti. Yang paling unik adalah ketika ia mengatakan bahwa yang menyamakan orang Tionghoa dan Indonesia adalah tembong hitam di atas pantat bayi mereka. Kata Pram, bayi orang Tionghoa berkulit putih dan bayi orang Indonesia berkulit sawo matang sama-sama mempunyai tanda hitam itu.

Sontak, pernyataan Pram tentu saja membuat pemerintah berang. Pram di tangkap, dan dijebloskan ke Rumah Tahanan Militer. Bahkan, karena statusnya itu, ia disamakan dengan para pemberontak PRRI/PERMESTA yang dianggap telah berkhianat pada negara.

249

Membaca Hoakiau di Indonesia, adalah penting untuk dua hal. Pertama, karena buku ini adalah buku pertama orang Indonesia, yang berusaha menjelaskan latar sejarah masyarakat Tionghoa. Di buku ini tidak hanya sejarah, melainkan juga disampaikan sebuah kenyataan bahwa kebudayaan masyarakat Tionghoa dan Indonesia demikian kuat. Kedua, buku ini menarik untuk meninjau arah perubahan intelektual Pram yang tidak banyak dibicarakan orang terkait kedekatanya dengan Cina. Pram adalah contoh bagaimana seorang intelektual Indonesia banyak terilhami oleh –kalau bisa disebut- kebudayaan Cina (untuk kasus yang sama Hong Liu juga menulis artikel menarik “Contruction a China Methapor: Sukarno Perception of The PRC and Indonesia Political Transformatin” yang mencoba melihat pengaruh unsur-unsur Cina dalam pemikiran Sukarno).

Terakhir dan yang paling penting adalah bahwa “Hoakiau di Indonesia” adalah suara seorang intektual, Pramoedya, yang turut serta bersua di tengah-tengah arus perdebatan  identitas pasca-kolonial.

Tinggalkan komentar